SONATA.id – Sepuluh purnama telah kita lewati. Tak jarang disisipi airmata. Begitulah cinta yang ditakdirkan antara aku dan kamu.
Hari telah berganti pekan, pekan pun berganti bulan,
genap di hitungan jari kiri dan kanan. Ragam gejolak jiwa telah pula mengajari
kita tentang bagaimana bertahan. Hingga kini, hati ini tetap tertuju padamu,
untuk membersamai harapan yang kita sebut akan menjadi buah dari doa-doa yang
terucap dalam tiap sujud.
Aku telah menulis ribuan kata tentang kita. Mungkin kau
pun begitu, walau kita tak selalu berkabar tentang segala rasa yang menetap
dalam jiwa. Namun, satu keyakinan sudah berdiam di hati, kau adalah hidupku.
Kita sering berbincang tentang sebuah harapan. Tentang
bagaimana inginku melihatmu bahagia, melihat wajahmu yang memancarkan senyum
dan tawa. Kini harapan itu kian membuncah, membentuk deretan rindu yang
kurangkai dalam larik dan bait puisi.
Aku ingin kau menjadi rumah, tempat pulang di tiap waktu.
Tempatku berdiam, menyempurnakan setengah diri. Aku ingin berlabuh di dermaga
hatimu, selamanya tanpa jeda waktu.
Mungkinkah? Ya, pertanyaan itu pernah hinggap di
pikiranku. Dan kita bersepakat melarungnya dalam doa dan pinta pada Yang Maha
Kuasa. Dzat yang memberikan anugerahnya pada tiap makhluk yang berserah diri
dengan segala upaya.
Saat ini, aku ingin ceritakan padamu tentang satu hal.
Tentang cinta yang seharusnya membawa bahagia, saat aku terbaring sakit. Aku
merindukan seseorang yang kucintai ada di sini, di sampingku untuk sebuah
semangat, mempersiapkan hari-hari ke depan.
Kemarin, tumpukan kalimat yang ingin kubagikan padamu tentang
bahagia yang kulihat di ujung perjalanan ini harus kembali kusimpan saja. Aku
tidak ingin cengkerama kita menjadi bualan pengisi waktu luang, biarlah
sementara waktu hanya ada dalam diriku, dalam perjalananku.
Bukan karena takut pada persoalan-persoalan yang silih
berganti datang menghampiri, tapi karena cinta padamu. Bukankah seorang pecinta
meletakkan bahagia kekasihnya pada tempat tertinggi dalam dirinya? Dan itu
adalah inginku.
Sayang, lembaran-lembaran surat ini ingin kutuliskan saat
rindu makin tak terbendung. Namun, mungkin lebih baik ia tersimpan dalam diri
kita. Hingga datang waktu untuk menumpahkannya, sambil kutatap mata indahmu
yang kutahu juga selalu melihat arah yang sama denganku.
Sayang, berbahagialah pada setiap waktu yang kamu lalui. Nikmatilah
waktu yang kamu miliki dengan senyuman. Sementara aku, akan terus mengemas
rindu ini menjadi bekal, hingga tiba di ujung perjalanan, di mana takdir ini
akan merupa dalam kebersamaan. (*)
(Bagian dari buku Sepucuk Surat untuk
Kekasih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar