Respons Imun, Mengenal Cara Tubuh Cegah Penyebaran Penyakit - Sonata | Moving for Education

Breaking

Post Top Ad


Post Top Ad


Senin, 03 Juni 2024

Respons Imun, Mengenal Cara Tubuh Cegah Penyebaran Penyakit


SONATA
.id
 – Tubuh manusia diciptakan Tuhan dengan respons imun. Apa itu respons imun?

 

Respons imun yaitu gejala tubuh untuk mencegah penyebaran atau pergerakan patogen ke seluruh tubuh. Sistem itu disebut sistem imun dengan semua komponennya, bekerja sama menangkal benda-benda asing yang akan masuk ke dalam tubuh, baik manusia ataupun hewan.

 

Peneliti Pusat Riset Veteriner Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Romsyah menjelaskan, ada dua respons imun. Pertama respons imun bawaan atau non-spesifik dari luar tubuh manusia, seperti kulit, yaitu rambut atau bulu. Sedangkan, untuk di dalam tubuh manusia terdapat enzyme, peptide anti mikroba, dan asam lambung.

 

Kedua, sistem imun yang adaptif atau spesifik, biasanya di luar tubuh contohnya sel T-sitotoksik yang membantu menggertak sistem imun. Selain itu, ada humoral yaitu sel T yang bekerja sama dengan limfosit B untuk menghasilkan antibodi. Contoh lain, adalah imunisasi sebagai sistem kekebalan tubuh.

 

“Antibodi sendiri adalah antinya dari antigen. Apabila ada antigen masuk, otomatis membentuk sistem kekebalan. Antibodi ini merupakan respons imun yang adaptif, contohnya saat pemberian vaksin," kata Romsyah dikutip dari laman brin.go.id, Selasa (4/6).

 

Romsyah menuturkan, antibodi merupakan immunoglobulin (Ig) sebagai protein berukuran besar yang dapat memberikan respons imun. Ini akan bergerak menetralkan atau mencegah patogen atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

 

Romsyah menjelaskan, antibodi dapat berupa poliklonal maupun monoklonal. Antibodi poliklonal merupakan campuran antibodi yang heterogen. Apa pun yang ada di dalam antigen ataupun patogen yang masuk ke dalam tubuh dia akan merespons.

 

“Respons itu mengeluarkan sekresi sebagai antibodi. Klon B nya akan menghasilkan antibodi yang heterogen (banyak atau tidak unik). Poliklonal memiliki lebih dari 1 epitop sehingga dapat mengikat beberapa molekul spesifik pada permukaan antigen, seperti virus, bakteri, parasite, fungi dan sebagainya,” ujar dia.

 

Sedangkan, antibodi monoklonal yaitu antibodi mono spesifik hanya menghasilkan 1epitop yang sangat spesifik dari antigen tertentu. Biaya produksinya mahal karena tingkat kesulitannya tinggi dan memerlukan jangka waktu lama.

 

“Tetapi banyak kelebihannya seperti reproduksibilitas batch-to batch tinggi (homogenitas tinggi), dapat memproduksi antibodi identik dalam jumlah besar. Spesifisitas yang tinggi terhadap satu epitope, reaksi silang yang rendah, lebih sensitiv untuk pengujian kuantitatif, dan gangguan back ground rendah,” paparnya.

 

Ia mengatakan cara memproduksi antibodi monoklonal yang banyak dilakukan sebelumnya adalah melalui teknologi hybridoma dengan menggunakan hewan hidup yang diimunisasi atau diberi antigen. Antibodi monoklonal yang dihasilkan melalui fusi sel limfosit B dan sel myeloma.

 

“Sel limfisit B dari hewan yang diimunisasi dengan antigen difusi dengan sel myeloma melalui penambahan polietilen dlikol (PEG) sebagai fusogen. Sel yang terfusi (hybridoma) diseleksi nenggunakan media HAT, dikultur dalam median HT, dikloning, dan diperbanyak secara invitro (dalam media) atau in vivo (dalam asites). Sel hybridoma tersebut dapat disimpan dalam waktu lama dalam nitrogen cair dan ditumbuhkan kembali, untuk produksi mAb saat dibutuhkan,” jelas dia

 

Romsyah menjelaskan, teknologi antibodi rekombinan yaitu antibodi monoklonal yang dihasilkan tanpa menggunakan hewan hidup. Gen sintetik dan fragmen antibodi digabungkan secara in vitro sehingga memudahkan untuk membiakkan garis sel (cell line) dalam kondisi terkendali.

 

“Penggunaan antibodi monoklonal sebagai terapi penyakit sudah banyak digunakan. Produk antibodi monoklonal sudah disetujui oleh US Food and Drugs Administration (FDA) sejak 1986,” tutur dia.

 

Adapun pemanfaatan antibodi monoklonal salah satunya untuk terapi penyakit, antara lain penyakit non-infeksius.

 

“Seperti kanker, autoimun, anti peradangan, rheumatoid arthritis, lupus, dan penyakit infeksius. Selain itu, juga sebagai deteksi penyakit melalui patogen yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasite,” tuturnya. (medcom/pict: net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Shopee Indonesia

Post Top Ad



Shopee Indonesia