SONATA.id – Bagi sebagian orang, cinta adalah kebahagiaan, kemudahan, senyum dan tawa. Namun, bagi orang-orang yang memilikinya di waktu yang tidak tepat, cinta menjadi sebuah persoalan rumit. Dan itu ada dalam hidup kita saat ini.
Bukankah kau yang memintaku mengerti tentang keadaan? Kau
pula yang menyebut, cinta ini tidaklah senyap dan sayup-sayup seperti puisi
yang kukirimkan?
Aku telah memahami keadaan. Kupahami bahwa cinta ini
perlu diperjuangkan dengan segala upaya. Ada sabar di dalamnya, ada komitmen
yang harus kita pegang teguh. Dan aku camkan kata-kata itu, hingga saat ini.
Kita, telah melewati masa-masa yang tidak mudah. Kadang saat
bersenda gurau, kita sebut bahwa jarak yang memisahkan layaknya antara bumi dan
bintang-bintang di galaxi lain. Tahunan cahaya, begitu kita ibaratkan. Dan kita,
memahaminya sebagai bagian dari ujian kesabaran.
Dulu, masih ingatkan kau ketika kukatakan, telah berubah
arah dari rasa yang ditanmkan Tuhan dalam diriku. Di awalnya, kuanggap ini
adalah bagian dari pendewasaan diri, menganggap cinta Yang tumbuh hanylalah
bagian dari permainan takdir. Tetapi, seiring waktu dan kutahu siapa dirimu,
harapan itu muncul. Harapan untuk selalu bersama dalam perjalanan menuju
bahagia.
Aku masih sangat ingat ketika kau memintaku untuk tidak
pergi karena sebuah masalah terjadi di hadapan kita. Walaupun di saat itu, hati
dan pikiranku bersepakat untuk meninggalkan semuanya. Karena bagiku, semua
kaummu adalah sama, sama-sama pemberi rasa sakit.
Dan ketika itu, entah kekuatan dari mana bisa kukalahkan
pikiranku. Dan kita terus membersamai cinta ini hingga waktu-waktu berlalu.
Ingatkah kau ketika cinta membuat kita semakin dekat? Sesuatu
yang bagiku adalah hal baru, dan kita melaluinya dengan senyuman. Semua itu
melekat dalam pikiran dan hatiku. Membuatku semakin mencintaimu, dan harapan
itu kian subur biarpun tak pernah kuutarakan lagi.
Kini, semakin waktu kita lalui, makin kita tahu bahwa
rumitnya persoalan hampir mustahil terselesaikan. Di saat itu pula, aku mulai
menyibukkan diri dengan persiapan masa depan, masa-masa yang aku sendiri tidak
pernah tahu akan seperti apa rupanya.
Aku telah kalah oleh nasib. Aku bukan orang yang pantas
diberi kesempatan mencicipi bahagia seperti mereka di sana, mereka yang bisa
saling menggenggam, melangkah bersisian menuju keridhaan Tuhan dalam naungan
cinta dan kasih.
Aku menyadari, merindukanmu saja tidak halal bagiku,
biarpun aku sangat tahu cinta yang sama ada di hatimu. Aku sadari itu, kupahami
di kedalaman maknanya.
Satu hal ingin kusampaikan di sini, kini kutahu
keberadaanku tak bisa memberi manfaat saat kau butuh. Aku tidak berguna bagi
hidupmu. Bahkan di saat-saat tertentu, aku tidak bisa menjadi sesuai
ekspektasimu.
Karena itu, setelah bertarung dengan semua harapan, rasa
cinta, dan keinginan bahagia bersamamu, aku menyadari tak mungkin melanjutkan
semua ini. Aku akan memilih mengundurkan diri.
Satu hal yang perlu kau ingat, cinta yang bersemayam
dalam diriku tidak akan pernah berganti. Tapi takdir mungkin tak dapat pula
kita ubah. Pesanku, jangan pernah bersedih dengan ragam persoalan. Berbahagialah,
seperti dulu sebelum aku hadir dalam hidupmu.
Terakhir kalinya ingin kuucapkan terimakasih untuk semua
waktu yang telah kita lalui bersama. Bersamamu adalah saat paling bahagia dalam
hidupku, dan akan selalu kujadikan kenangan terindah. Namamu masih akan selalu
kueja dalam setiap doa, untuk bahagiamu.
Izinkan kututup lembaran ini, lembaran terakhir dari
kisah kita, cinta yang tak pernah tiba di muaranya. Aku pamit.
(Bagian akhir dari buku Sepucuk Surat untuk
Kekasih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar