SONATA.id – Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyebutkan, sejak 2017 ada sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah.
Bahasa merupakan
hasil olah budaya sebagai bentuk komunikasi antarmanusia. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang
arbiter digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa turut mencerminkan budaya suatu
bangsa karena dapat menghasilkan percakapan, perilaku, dan adab yang baik serta
sopan.
Bangsa Indonesia
mengenal adanya bahasa ibu dan bahasa daerah kendati keduanya seringkali
disalahartikan. Bahasa ibu adalah percakapan pertama yang dipelajari oleh
seorang anak di keluarga terdekatnya dan kemudian dipakai pada kehidupan
sehari-hari.
Bagi masyarakat
perkotaan, penggunaan bahasa Indonesia jauh lebih umum dibandingkan bahasa
daerah setempat. Apalagi, menurut catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
(Kemendikbudristek), terdapat sekitar 718 bahasa daerah.
Menurut Kepala
Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN) Katubi, ada perbedaan di antara kedua istilah, bahasa ibu dan
bahasa daerah. Bahasa ibu diperoleh pertama kali oleh anak-anak tanpa melalui
proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan bahasa daerah dituturkan oleh
masyarakat di suatu wilayah dalam sebuah negara.
"Dalam konteks
keindonesiaan, pada umumnya bahasa ibu bagi anak-anak Indonesia adalah bahasa
daerah. Bisa jadi bagi anak-anak di perkotaan, bahasa ibu mereka adalah bahasa
Indonesia," ujarnya dalam sebuah lokakarya bahasa di Jakarta, beberapa
waktu lalu.
Sekarang ini,
jumlah penutur bahasa daerah sedikit demi sedikit mulai terkikis jumlahnya di
wilayah tertentu. Dalam survei yang diadakan pada 2023 itu disebutkan bahwa
proporsi penduduk kelahiran tahun 2013 ke atas, atau dikenal dengan kelompok
Post Gen Z yang menggunakan bahasa daerah ke tetangga atau kerabat tinggal
61,70 persen. Kemudian, hanya 69,9 persen penduduk dari generasi Z, atau lahir
pada rentang 1997-2012, yang menjadi penutur bahasa daerah.
Di kalangan
generasi milenial ada sekitar 72,26 persen menggunakan bahasa daerah saat
berkomunikasi dengan tetangga atau kerabat. Sebanyak 75,24 persen penduduk
Generasi X juga memakai bahasa daerah ketika berbincang dengan tetangga atau
kerabat.
Sebanyak 80,32
persen generasi Baby Boomer masih menggunakan bahasa daerah
ketika berkomunikasi dengan tetangga atau kerabat. Adapun, proporsi
generasi Pre-boomer yang menuturkan bahasa daerah mencapai
85,24 persen. Dari proporsi tersebut terlihat kecenderungan semakin
berkurangnya penutur bahasa daerah dari generasi ke generasi.
Padahal, bahasa
daerah bagi sebagian masyarakat diartikan sebagai bahasa ibu yang memuat
filosofi, kearifan, dan pandangan hidup. Orang Melayu Riau misalnya sangat
akrab dengan pantun berisi nasihat atau pesan moral. Begitu pula dalam tradisi
Jawa, ada parikan atau pantun menghibur terdiri dari dua larik berisi
nasihat.
Pemerintah pun
berupaya memasyarakatkan kembali bahasa daerah sebagai bahasa ibu di sejumlah
wilayah. Dalam dunia pendidikan, bahasa daerah masih diperbolehkan untuk
dipelajari sebagai muatan lokal (mulok) kurikulum di skeolah berdampingan
dengan mata pelajaran bahasa Indonesia. Kemendikbudristek pun mengupayakan
revitalisasi bahasa daerah ke dalam program Merdeka Belajar.
Seperti dikutip
dari website Kemendikbudristek, revitalisasi dilakukan agar para penutur muda
menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajarinya dengan suka cita melalui
media apa pun. Upaya itu juga tentu saja untuk menjaga kelestarian bahasa dan
sastra daerah serta menciptakan ruang kreativitas dan kebebasan bagi para
penutur bahasa daerah untuk mempertahankan budayanya. (indonesiagoid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar