SONATA.id – Kumandang takbir menggema di setiap sudut daerah ini. Semua bersuka-cita. Satu bulan penuh, Ramadhan telah dijalankan dengan shaum dan qiyamnya.
Kini saatnya muslim sedunia merayakan kemenangan, menjadi
insan yang fitri, suci seperti baru dilahirkan ke dunia ini.
Tanpa terasa, genangan air mata kini jatuh di sela-sela
gumaman takbir membesarkan Sang Pencipta atas segala nikmat dan karuniaNya.
Entah ini Idulfitri ke berapa sejak tak lagi bersama-sama
mereka yang setiap waktu menjadi penyejuk jiwa. Kesendirian mengajarkan, teman
terbaik selain orang tua adalah sepi. Dan saat ini, di keramaian suara takbir,
di negeri yang baru saja diinjak beberapa bulan lalu, sepi itu yang akrab
sebagai kawan sejati.
Indah, itulah kepantasan yang patut disebutkan untuk
sebuah daerah yang menjadi tumpuan segala budaya Ranah Minang. Luhak nan Tuo,
begitu sebutan untuk daerah yang berada di kaki Marapi yang tengah mengamuk
sejak empat bulan silam.
Dan di sini pulalah hati tertambat untuk menghabiskan
sisa-sisa usia. Setelah berseteru dengan diri sendiri, mengambil langkah untuk
menetap, hingga tiba ketentuan Ilahi.
Wajarkah airmata ini mengalir kian deras, ketika
kesendirian hanya dibuyarkan oleh senandung sepi yang datang bertalu-talu
menghampiri? Entahlah. Siapapun mungkin akan menertawai, mencemooh karena melihat kulit luarnya saja. Tidak menyelami jauh ke lubuk terdalam dari
kehidupan seseorang.
Ini adalah lebaran pertama, di negeri di mana dulu
diamanatkan oleh seorang ibu pada anak tunggalnya untuk memilih naungan hidup.
“Ibu yakin, di sana kamu akan bertemu jalan hidup untuk
bahagia.” Masih saja terngiang di telinga ucapan perempuan tercantik itu
sambil mengelus kepala anak semata wayangnya.
Benar saja. Bahagia itu pernah menghampiri, namun
pelan-pelan mulai hilang terbawa persoalan hidup. Kembali pada diksi memilih,
antara kenyataan dan mimpi.
Namun, satu hal yang pasti, sepi ini akan menjadi kawan
bercengkerama. Teman sejati yang selalu siap mendengarkan kidung kepedihan dari
seorang anak manusia yang mengejar mimpi dan sejumput bahagia.
Mungkin akan tiba saatnya suatu ketika nanti. Sepi akan
berganti senyum sumringah karena yang dinanti telah tiba, atau sebaliknya, ia
akan menetap dalam diri. Selamanya.
Takbir masih terus menggema. Mengiringi langkah-langkah
penuh senyum keluarga-keluarga yang saling bersalaman penuh makna. Dan di pojok
ruangan ini, air mata akan terus dikuras kesendirian, bersama penantian pada
setitik cahaya. Bahagia, atau hanya akan dipermainkan oleh rasa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar