SONATA.id – Sepanjang kehidupan ini, tak henti-hentinya setiap manusia melalui ragam masalah. Perjalanan hidup kadang harus melewati terjalnya takdir, dan ada pula yang larut dalam fatamorgana.
Semuanya karena
persoalan tiap-tiap keputusan yang diambil manusia dalam memilih alur
kehidupannya. Tidak ada pihak lain yang salah, tetapi dirinyalah yang mungkin
saja tidak piawai menyimak suara alam.
Pada tulisan
Romantisme Kehidupan kali ini, kita akan bicara tentang jenis manusia yang
dalam hidupnya hanya akan terbuang. Hal itu terjadi kadang bukan karena
ketidakpekaan terhadap keadaan, tapi bisa pula disebabkan prinsip pada dirinya
yang berakibat tidak menguntungkan.
Kita menyebutnya,
manusia pembalut luka. Pembalut luka, semua orang juga tahu. Kalau di pedesaan
yang belum maju, setiap orang mengalami luka terbuka dan berdarah, maka akan
dibalut dengan kain perca setelah ditetesi obat atau sejenisnya.
Pembalut luka zaman
modern beda lagi, dengan segala kemajuan muncul kain kassa, ada pula strip
pembalut luka khusus dengan segala merknya. Itulah cara manusia membalut luka
terbuka, berdarah dan tak jarang menyebabkan terhenti semua aktivitasnya.
Nah, di sini kita
tidak akan bicara tentang pembalut luka yang demikian. Biarlah itu menjadi
domainnya tenaga kesehatan bila terjadi di sekeliling kita. Di sini, kita
mengambil analoginya saja, yang kadang bisa dipahami sebagai sesuatu yang
pantas jadi bahan renungan, bahkan oleh mereka yang sedang menjadi manusia
pembalut luka.
Analoginya,
pembalut luka hanya dipakai sementara. Walaupun berganti pembalut, setelah luka
mengering maka pembalut akan dibuang begitu saja. Seolah tidak pernah berjasa
sebiji zarahpun.
Ketika manusia
jenis pembalut luka ini hidup di tengah hiruk pikuknya zaman, akan ada saja
masanya ia terbuang setelah berupaya menyembuhkan luka seseorang. Bahkan ia
sendiri tidak pernah tahu, ia pembalut ke berapa yang hadir dalam kurun waktu
itu.
Salahkah ia? Tentu
tidak semudah itu mengatakan kalau ia seorang yang bersalah. Ia melakukannya
kadang dengan satu tujuan; membalut luka dan menyembuhkan bekasnya.
Niat yang tulus itu
menjadi alasan mengapa manusia pembalut luka kadang tidak menyadari ia sedang
berhadapan dengan siapa. Adakalanya ia membalut luka pemain kawakan yang sudah
malang melintang di percaturan zaman.
Menyedihkan? Tidak
juga. Karena bukan dia yang sebenarnya merugi, tapi sosok yang
menyia-nyiakannya dari kehidupan. Karena manusia pembalut luka adalah mereka
yang teguh pendirian, berbuat tulus demi kebaikan, plus keinginan membangun
harapan untuk bahagia.
Pernahkah anda
melihat manusia tipe ini? Seorang teman bercerita, ia pernah menyaksikannya.
Menurut ceritanya, orang yang disaksikannya itu hanya dinginkan ketika
dibutuhkan, dirindukan ketika kesepian, dijadikan tempat pelarian, dijadikan
pengisi kekosongan.
Dan dari kisah yang
diurainya, penulis menyimpulkan, terlalu kejam kehidupan ini bila orang-orang
yang menjadikan seseorang sebagai pembalut lukanya saja.
Walau tidak ada
karma dalam keyakinan penulis, namun setiap perbuatan akan memperoleh ganjaran
nyata di dunia, sebelum bertemu Sang Hakim Agung di akhirat nanti. (*/ni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar