SONATA.id – Siapapun pasti memahami adagium ‘menanam tebu di bibir’ atau dalam diksi lain disebutkan ‘bertanam tebu di bibir.’
Adagium Melayu yang erat kaitannya dengan sikap manusia
dalam kondisi atau saat tertentu itu, ditujukan bukan kepada pelaku yang
menanam tebu di bibirnya, namun pada kedua belah pihak antarsesama manusia
dalam lingkungan yang sama.
Diketahui, tebu (Latin: Saccharum) adalah tanaman yang
digunakan untuk bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di
daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur
tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di
Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra.
Ciri utama tanaman beruas dengan kandungan air yang cukup
tinggi ini adalah rasa manis dari cairan yang ada di dalamnya. Setiap orang
pasti suka rasa manis, walau kadang terlupa rasa manis bukan sebuah hakikat
dari fakta yang ada.
Di dalam masyarakat Melayu dan Minangkabau, tanaman tebu
menjadi suatu rujukan akan kata-kata bagi sebagian orang saat berbicara.
Adakalanya orang menyebut ‘si Fulan bicaranya semanis tebu’. Ada pula sebutan
‘si anu ibarat bertanam tebu di bibir.’
Ungkapan tersebut tak lain adalah sindiran bahwa rasa
manis dalam ucapan dan pembicaraan seseorang enjadi senjata baginya untuk
menarik perhatian, simpati, atau [bahkan] empati orang lain. Semua itu ditujukan
untuk kepentingan dirinya sendiri, walau tak jarang juga bertujuan untuk
kepentingan khalayak bila dilakukan dalam hal mengajak orang berbuat kebaikan.
Di masa-masa suksesi kepemimpinan, dalam skala kecil
hingga besar, kepiawaian menanam tebu di bibir ini adalah hal penting bagi
sebagian orang. Walau tak sesuai fakta yang ada, bermulut manis layaknya manis
tebu, diperankan dan diperagakan hingga tercapainya tujuan.
Siapa yang tak terpesona dengan manisnya ucapan dan
janji? Siapa pula yang tak tertarik dengan buaian kalimat layaknya seorang sufi
dalam mengungkapkan kecintaannya pada sesuatu? Semua orang akan luluh, ambruk
dalam kemanjaan ungkapan-ungkapan manis tebu di bibir itu.
Mau jadi anggota legislatif? Kepala Desa? Kepala Daerah
atau Kepala Negara? Tidak ada satupun dari mereka yang tidak mengubah tatanan
kalimatnya menjadi lebih manis, bahkan mengalahkan rasa manis dari tebu yang
dirawat dan dipupuk oleh petaninya.
‘Saya bila terpilih akan memberikan yang terbaik untuk
masyarakat dan daerah kita. Jangan sungkan kritik saya bila nanti salah
langkah.’ Woww.. manisnya. Seperti rayuan seorang kekasih yang melumpuhkan
jaringan saraf untuk menjaga daya kritis.
Ya, sebentar lagi negerti ini akan sibuk dengan pemilihan
demi pemilihan. Ada Pemilu Legislatif, ada Pemilihan Presiden, ada pula
Pemilihan Kepala Daerah. Semua akan terasa manis, tidak ada sarkasme yang
keluar dari mulut-mulut para calon. Semua bertanam tebu di bibirnya. (*/ni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar