SONATA.id – Telah lama ingin menginjakkan kaki di sini. Entah karena keinginan untuk menyaksikan langsung bangunan tua bersejarah yang tetap indah, atau hanya karena sedang berkesempatan singgah beberapa hari di kota Semarang.
Lawang Sewu, lokasi wajib bagi pendatang di ibukota Jawa
Tengah ini, memang dikenal dimana-mana. Bukan hanya sejarahnya, tapi juga
kisah-kisah mistis yang menyempurnakannya sebagai bangunan yang sudah dimakan
usia itu.
Ya, Lawang Sewu, dalam bahasa Indonesia diartikan Seribu
Pintu. Bangunan yang menyimpan sebagian kisah perjuangan bangsa ini. Gedung
yang megah di tengah kota Semarang, tepatnya di jalan Pemuda ini, menjadi saksi
pertempuran antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) melawan penjajah Jepang. Pertempuran
itu terjadi karena AMKA ingin merebut pusat perkereta-apian kala itu dari
tangan penjajah. Belasan pejuang gugur, mengorbankan jiwanya demi
mempertahankan tanah warisan leluhur dari kekuasaan penjajahan.
Tak terasa, kurang dari sepuluh menit dari hotel, kaki
kami telah menginjak pelataran Lawang Sewu. Tatapan mata pun mengundang decak
kagum, bangunan yang pertama kali didirikan pada tahun 1904 oleh Belanda
sebagai Kantor Perusahaan Kereta Api (NIS), dengan jalur utama mengubungkan
Semarang dengan Kota Solo dan Jogyakarta kala itu, kini berada di depan mata.
Pembangunannya melibatkan dua orang ahli bangunan Belanda, Bj. Queendag dan
Prof. Jacob F. Klinkhamer.
Pintu-pintu besar menyambut kedatangan setiap orang di
sini. Mungkin inilah alasan penamaan ‘Seribu Pintu’ bagi masyarakat Semarang.
Memasuki halaman yang di balik pagar, penjaga sekaligus penerima para pelancong
menawarkan jasa guidingnya. Dengan membayar lima
ribu rupiah saja, setiap pengunjung telah dapat mengeksplorasi setiap ruangan
di bangunan berlantai tiga yang cukup luas tersebut.
Setelah membayar tiket masuk, kami diarahkan dengan papan
petunjuk memasuki ruangan-demi ruangan di sana. Portal pemeriksaan karcis masuk
telah kami lewati. Hawa sejuk di bawah teras gedung mulai terasa menerpa
tubuh-tubuh kami yang baru kali pertama ke sini.
Langkah kami tertuju pada ruang pertama setelah melewati
lorong sebelah kanan. Tiba-tiba kaki kiriku terasa berat. Sesosok bayangan
seperti menahan gerakan langkahku. Tangan-tangan mungil melingkar tepat di
pergelangan kaki ini. Pegangan yang begitu kuat, seolah tak ingin melepaskan
kakiku. Aku menoleh, melihat wajah tampan seorang remaja laki-laki menatapku
tengadah. Bergidik, mataku tak lepas dari wajahnya.
“Demian...” Satu kata keluar dari mulutnya. Terdengar
nyaring di telingaku
“Demian...” Aku mengulang kata itu.
Matanya kembali menatapku. Entah tatapan apa. Tapi dari
sorot matanya sangat tajam, aku artikan sebagai keinginan untuk berkomunikasi
lebih dari sekedar menyebut satu kata tadi.
“Ibuku...” Kembali nyaring terdengar ucapannya. Ada
hentakan kuat di pegangannya. Seolah menginginkanku untuk berhenti dan
mendengarkannya.
“Mana ibuku...” kembali suaranya menggetarkan tubuhku.
Mataku hanya bisa menatapnya. Aku membatin, Demian adalah namanya, dan sosok
remaja tanggung ini merindukan ibunya.
Lalu, tanpa menungguku menjawab, Demian melanjutkan
ucapannya. Dari logat bicaranya, aku meyakini ia berasal dari Indonesia bagian
Timur, bukan asli Jawa Tengah.
“Ibuku mana? Kenapa aku tidak boleh bertemu ibu?”
Aku mulai bertanya, “Siapa yang melarangmu, Demian?”
“Kalian membuatku begini. Kalian membawa ibuku, kalian
membuatku cacat hingga tidak bisa berdiri...” Matanya memerah. Ada rona
kesedihan yang begitu dalam tersirat, dan amarah yang luar biasa dari
pandangannya.
“Ceritakan padaku tentangmu dan ibumu. Aku akan
mendengarkan,” kuseret langkahku menepi di lorong kanan. Sementara lalu-lalang
penggunjung terlihat bahagia menikmati ruang demi ruang bersejarah di Lawang
Sewu.
Lama ia diam, sedangkan kedua tangannya masih terus
menggenggam kuat pergelangan kakiku. Kutatap matanya yang merah penuh amarah.
Tanpa kuduga, Demian melepaskan pegangannya di kakiku.
Lalu ia duduk bersandar di dinding lorong tanpa berhenti menatapku. Dan ia pun
mulai bicara pelan.
Kudengarkan kisahnya. Mulai dari cerita kelahirannya
sebagai buah dari perbudakan yang dialami ibunya di daerah Timur Indonesia.
Hingga ia tumbuh di masa kanak-kanak dan remaja. Cerita mengharukan.
Helen nama ibunya. Menurut Demian, ibunya adalah
perempuan tercantik di desanya saat itu. Karena masa kolonial, seluruh
perempuan desanya dijadikan budak oleh penjajah. Aku dapat mengerti, kupastikan
cerita Demian bukanlah kebohongan. Remaja tampan dengan hidung mancung, rahang
kuat dan dagu lancip, pasti dilahirkan dari rahim seorang perempuan cantik.
“Kini aku tidak bisa bertemu ibu. Mereka membawanya
setelah kami tiba di sini.” Ada airmata mengalir di pipinya yang pucat. Batinku
terenyuh. Aku dapat memahami dan merasakan kesedihan seorang anak yang terpisah
dari ibunya. Sungguh sangat menyakitkan.
Dengan mata berkaca, Demian melanjutkan kisahnya. Ia
bersama ibunya dan para budak lain, dibawa dengan kapal kayu dari daerahnya ke
Semarang kala itu. Perjalanan laut yang membosankan di bawah ancaman bedil
kolonial, kekurangan makanan, penyakit yang tidak diobati, luka-luka yang terus
mengalirkan darah dan nanah. Belum lagi gelombang di perairan Masalembo yang
dikenal ganas sejak dulu.
Mataku hangat. Tapi aku tidak boleh terbawa kesedihan
seperti demian. Tidak lucu bila di antara keramaian pengunjung aku mengalirkan
airmata. Mereka pasti akan mengira sesuatu yang tidak masuk akal kualami di
sini.
Tanpa sadar, tanganku menyentuh kepala Demian. Kuusap
lembut rambut kumalnya. Bekas-bekas luka di kepalanya sudah mengering.
“Aku berakhir di sini. Menjadi pekerja untuk
mereka-mereka yang tidak punya belas kasihan. Dan hingga saat ini, aku belum
pernah bertemu ibu,” Kini Demian tidak lagi menatapku. Wajahnya tertunduk, diam
seribu bahasa.
“Demian, semoga Sang Maha Pencipta menerimamu dan ibumu.
Kalian akan dipertemukan di masanya kelak.” Kuusap rambutnya, dia tengadah. Ada
harapan kutemukan dalam matanyanya yang tajam masih penuh amarah.
Aku melangkah, meninggalkan Demian yang masih duduk
bersandar di dinding lorong. Lalu-lalang pengunjung tak dihiraukannya. Ruang
demi ruang Lawang Sewu kutapaki. Kamera di tangan tak berhenti mengabadikan
objek indahnya. Walau kadang blitz kamera
dipaksa padam oleh aura mistis yang cukup kuat. Lawang Sewu tetaplah indah di
mata kami. Bangunan tua penuh sejarah, menyimpan kisah rindu Demian.
Sekelumit kisah ini, akan jadi pelajaran berharga bagi
semua orang. Bahwa alam diisi berbagai kepedihan, ada yang menyakitkan,
berusaha tersenyum. Ada pula kisah haru di dunia yang tidak semua mata dapat
menyaksikan. (*/ilustrasi: jatengprov)
Kisah mistis ini
diambil dari kisah perjalanan CEO P3SDM Melati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar