SONATA.id – Di era disrupsi informasi, para pendidik maupun guru diminta untuk beradaptasi secara cepat dengan dunia yang serba digital dan lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Untuk itu, para
pendidik harus meningkatkan literasi digital masing-masing agar dapat
memberikan pencerahan kepada publik, terutama membendung banyaknya hoaks yang
menggunakan sentimen agama.
"Para pendidik
harus dapat mengisi ruang-ruang kosong untuk meningkatkan literasi digital
kepada publik melalui media sosial yang semakin massif, terutama membendung
hoaks. Apalagi, saat ini kita tengah menghadapi tahun politik. Hoaks mengenai
agama, politik, dan kesehatan menduduki peringkat tinggi," kata Staf
Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo dalam diskusi bertema Literasi Digital,
Aman, dan Nyaman Bermedia Sosial, di Rembang, Jumat (22/9).
Hadir dalam
kesempatan tersebut Wakil Bupati Rembang Mochammad Hanies Cholil Barro', Kabid
Penma Kanwil Kemenag Jateng Ahmad Faridi, Kepala Kemenag Rembang M Kafit, dan
perwakilan LTN PBNU sebagai penyelenggara diskusi.
Mengutip data
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Wibowo mengatakan, hoaks masih
terus ada dan tersebar luas di media sosial. Pada 2019, misalnya, mencapai
1.221 hoaks. Kemudian, pada 2020 meningkat menjadi 2.298 hoaks. Namun pada 2021
jumlah hoaks menyusut menjadi 1.888, turun lagi menjadi 1.698 pada 2022.
"Diperkirakan
jumlah hoaks akan kembali meningkat seiring dengan mulainya tahun politik pada
2023 dan 2024 di mana pilpres dan pileg serentak dilakukan. Isu-isu agama
diprediksi akan dipakai sebagai materi hoaks," tandas Wibowo di hadapan
seratusan peserta dari kalangan kepala madrasah negeri dan swasta, serta para
pendidik.
Wibowo mengungkapkan,
selama triwulan pertama tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika
telah mengidentifikasi sebanyak 425 isu hoaks yang beredar di website dan
platform digital. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan pada triwulan pertama
tahun 2022 yang mencapai 393 isu hoaks.
Masih maraknya
hoaks tentu membuat memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Menurut Wibowo, jika
kemudian masyarakat percaya terhadap hoaks maka hal ini akan mengancam keutuhan
bangsa.
"Mayoritas
hoaks tujuannya memang adu domba. Kalau hoaksnya menggunakan isu agama maka
akan berpotensi terjadinya konflik antarumat beragama. Kalau tidak diantisipasi
ini akan jadi bom waktu yang pada akhirnya akan memporak-porakdakan bangunan
persatuan dan kesatuan bangsa," tandasnya.
Wibowo berharap,
para pendidik atau guru bisa ambil bagian dari mitigasi potensi negatif
tersebut. "Mari berperan dengan memberikan narasi-narasi yang menyejukkan,
adem, dan menenangkan. Narasi yang salah atau menyesatkan harus diluruskan.
Khususnya untuk membekali para anak didik atau generasi muda yang literasi
digitalnya kurang agar tidak terpengaruh," jelasnya.
Pentingnya para
pendidik untuk mengisi ruang memberikan narasi positif, kata Wibowo,
menyejukkan dan meluruskan pemahaman yang bengkok terkait dengan keagamaan
mesti segera dilakukan mengingatkan Indonesia tengah menyongsong bonus
demografi.
"Indonesia
akan diisi usia produktif, khususnya Generasi Z (Gen Z). Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), Gen Z sekitar 27.94% penduduk di dalam negeri berasal
dari generasi kelahiran 1997-2012. Sedang data Kementerian Dalam Negeri jumlah
penduduk Gen Z yang berusia 10-24 tahun sebanyak 68.662.815 jiwa hingga 31
Desember 2021," ungkapnya.
Wibowo menjelaskan,
Gen Z memiliki karakteristik unik. Pertama, yang pasti mereka sangat akrab
dengan dunia digital sehingga disebut 'digital natives'. Gen Z tertarik juga
membahas isu-isu global, sosial, dan lingkungan.
Tapi di sisi lain,
Gen Z cenderung pragmatis dan realistis dalam pendekatan mereka terhadap
pendidikan dan karir. "Karakter lainnya, Gen Z sangat terbuka dengan
keberagaman dan perbedaan, baik agama, adat istiadat, etnis, ras, adat
istiadat, serta budaya," ucapnya.
Mengutip survei
dosen Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, Lisa Esti Puji Hartanti, Wibowo
menyampaikan sekitar 52,2% anak muda, Gen Z lemah literasi digital. Mereka
tidak terbiasa melakukan verifikasi kebenaran.
"Terlebih
literasi digital yang terkait dengan isu-isu keagamaan. Untuk itu, para
pendidik mesti dapat memberikan pencerahan dalam hal keagamaan agar mereka tidak
tersesat jalan. Diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan literasi keagamaan di
kalangan pendidik, mendorong pendidik menyebarkan konten-konten baik dan sejuk,
membangun semangat serta rasa percaya diri untuk berperan aktif dalam berdakwah
melalui media digital," tandasnya. (kemenag)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar